Rabu, 28 September 2011

[Patut Diberi Salut] Rian Afriadi: Dari Empty Snapshot Jadi Narrative Documentary Photos

Jika ditanya siapakah fotografer lokal favorit, maka saya akan menyebutkan nama Rian Afriadi sebagai salah satunya. Sejak saya pertama mengenalnya melalui forum berinisial FN itu di pertengahan 2009, foto-foto Rian semakin hari semakin memuaskan mata saya. Jika diawal-awal foto-fotonya hanya sebatas apa yang Rian sendiri menyebutnya sebagai “empty snapshot”, kini saya selalu ditawarkan foto-foto snapshot kaya akan interaksi. Cerdas!
 

 
Bergabungnya Rian dengan sebuah sekolah foto ternama di Jakarta menjadikan Rian semakin matang eksplorasinya. Dari sekedar empty snaphot kini ia tertarik untuk menggeluti foto dokumenter yang menuntut kedekatan dengan objek lebih dalam lagi. Hasilnya, Tiap saya melihat foto Rian mustahil rasanya saya hanya menghabiskan waktu yang sebentar. Melihat foto Rian sama dengan menjebakkan diri dalam sebuah panggung drama tanpa narasi. Kita akan disuguhkan oleh tayangan ‘hitam putih” yang akan menyirap pikiran kita. Topik yang diangkat Rian sangat beragam. Dari mulai politik hingga humor.
Tak hanya matang di konsep, Rian pun selalu bereksperimen dengan teknik pengambilan fotonya. Elemen kaca kerap dimanfaatkan Rian. Tidak seperti cermin yang hanya memiliki satu sisi, kaca justru bisa menampilkan pandangan dari kedua sisinya. Kaca itu tembus pandang, tapi tetap memantulkan cahaya, walau samar. Objek-objek yang saling bertumpukan menghasilkan sebuah pertunjukan jukstaposisi. Hasilnya, Rian bisa mendapatkan scene yang berlapis-lapis. Selain penggunaan kaca, Rian juga tertarik untuk bereksperimen dengan teknik multiple exposure, bahkan teknik multiple exposurenya terbilang beda. Saat menggunakan kamera analog misalnya, Rian memasang ulang rol yang sudah terekspos. Ia menumpuk film negatif dengan foto baru. Menakjubkan!
Daripada berlama-lama membaca ulasan sok-tahu saya. Lebih baik kita simak langsung hasil wawancara singkat saya dengan pemuda 24 tahun asli Tasik ini.
 


Halo Rian, ceritakan tentang awal mula ketertarikan dengan fotografi itu kapan? Apa motif mu saat dalam berfotografi saat itu? 
 
Cerita fotografi gua dimulai dari kebosanan. Gua kerja di kantor pajak di Bekasi, Sabtu Minggu kantor libur. Jadinya nganggur, maka iseng lah beli kamera pocket. Mulai upload di Fotografer.net (just like everybody at the beginning :-p).
 
Sejak mulai motret (pertengahan 2009) rutinitas berubah. Tiap Sabtu-Minggu pasti motret di luar. Hampir nggak pernah di Bekasi karena kota ini rada boring, panas, dan banyak premannya. Jadi gua motretnya di Jakarta. Dan seperti para pemula lainnya yang baru beli kamera, motretnya pasti di Kota Tua dan car free day: Motretin alay, pengemis dan busway.


Saya mulai mengenalmu sejak 2009 awal di forum fotografi yang itu tuh, saat itu foto-foto mu masih sangat random, hingga akhirnya kamu menemukan comfortzone di foto dokumenter, bener nggak tuh? certain dong perjalanan fotografimu itu? 
Perjalanan fotografi gua mengalir. Flowing. Dulu sebelum kenal street, gua senangnya motret pola-pola geometris di gedung-gedung, cari pola-pola kayak lukisan Piet Mondrian di gedung-gedung, lalu upload di FN (seperti yang lainnya :-D)
Di FN gua nemu beberapa foto yang awalnya bikin bingung. Gak tau apa itu namanya tapi gua interested banget sama foto-foto yang mayoritas BW itu. Adalah Karina Saputri (quirkay.blogspot.com) yang ngenalin tentang istilah “street photography”.  Di sana gua nemu comfort zone gua. Gua suka sama rasa deg-degan pas motret strangers di jalanan dari jarak dekat.
Pun jenis street photo yang gua potret berubah-ubah. Di awal gua motretnya momen-momen candid yang ada tepat di depan kamera. Seperti komposisi yang tidak biasa dan ‘mutilasi’ objek foto. Selanjutnya gua coba kombinasikan dengan medium di sekitar, misal kaca, pola geometris, cahaya keras, atau objek bergerak.
Intinya sih gua usahain supaya fotonya enggak terkesan “empty snapshot”. Sukur-sukur kalo hasilnya bisa bagus. Omong-omong, foto street bagus dalam definisi gua adalah foto yang bisa bikin viewer terdiam sesaat dan foto street yang surreal. Belakangan gua mulai motret documentary yang bercerita, narrative photography. Kebiasaan motret di jalanan lumayan membantu motret momen-momen candid pas motret documentary.

Kalau dilihat sepertinya kesempatan untuk ikut kelas di Panna sangat mempengaruhimu yah? Apa yang didapat dari sana? 
 
Panna! God bless Riva Setiawan! Panna merevolusi cara pandang fotografis gua. Foto-foto gua yang dulu masuk kategori favorit sekarang banyak yang disisihin ke kategori junk. Intinya gua dibukain foto kayak gimana sih yang bagus itu. Plus, dari Panna gua juga belajar yang namanya observasi, riset, gali data, dll sebelum motret.
Panna lebih ke narrative photos. Jadi ada issuenya. Bertolak belakang dengan background gua yang jepret-jepret di jalanan tanpa tahu mau cerita apa. Atau kalaupun dapet momen, kita nggak bener-bener tahu apa yang terjadi karena ceritanya adalah apa yang terjadi menurut interpretasi kita, yang mana bisa jadi berbeda dengan what really happened to the subject.
 
Trus pertemuan mu dengan Lee Friedlander gimana? Hal apa yang membuat lu tertarik dengan pendekatan dia dalam memotret di ruang publik (penggunaan refleksi, bayangan dll).

Lee Friedlander is a genius. Gua tau dia dari buku terbitan TIME/LIFE loakan pada Februari 2010, Salah satu harta karun gua sekarang. Dia salah satu main influence gua pas awal-awal nyetrit. Pemikirannya gini: gua suka foto street surreal atau foto yang banyak elemennya. Dengan menambah elemen refleksi, kaca, dll, otomatis chance dapet yang surreal lebih banyak.









Oh iya, apakah menampilkan potongan bayangan dari dirimu (seperti yang dilakukan oleh Lee Friedlander) pada subjek dan atau objek dalam foto adalah caramu untuk berpartisipasi dalam scene tersebut? 
 
Haha. Sekarang udah jarang. Tapi itu lumayan asik. Buat nambah elemen aja. Kalo elemennya jadi nyambung, itu bonus. Tapi seringnya enggak. Kalo enggak, ya itung-itung berbuat narsis. Tidak dilarang toh :-p...
Pertanyaan sulit dan nggak penting nih sebenernya, tapi kamu harus bisa jawab. Apa definisi Streetphotography dalam kamusmu? 
 
Argh sial dapet pertanyaan susah! Street photography adalah foto-fotonya Robert Frank, Lee Friedlander, Diane Arbus, Jonas Bendikssen (di kamus gua, foto dia yang Satellite masuk ke street photography). Sebangsa itu lah.
Cakupannya luas. Bahkan, dalam kamus gua, foto-foto tunawisma di Kota Tua jepretan "para pemilik DSLR baru" (ngerti lah maksud gua) juga masuk ke street photography. Tapi elemennya masih sangat sangat lemah.

Menurut hemat saya, street photography itu ialah tentang ‘melihat dan bereaksi’. Nah, hal-hal apakah yang membuat elu bereaksi untuk merekam? 
 
Yang unik yang surreal yang enak kompo yang enak lightningnya.



Nah, ini nih, masalah teks dalam foto, terutama dalam streetphotography. Karena selama ini saya melihat banyak perbedaan dalam hal ini. Ada yang memiliih untuk untitled atau berjudul tapi ala kadarnya. Nah, sejauh ini kamu salah satu yang selalu menggunakan judul dan caption. Bagimu, apa pentingnya teks (judul dan atau caption) dalam streetphoto? Dan apa fungsinya? 
Simple lho. Cuma buat penanda/referensi kalo mau nyebut. Susah kan mau nyebut foto kita yang mana kalo semua fotonya judulnya "." atau "untitled". Plus, judul itu ya menceritakan apa aja yang ada di foto itu, at least menurut interpretasi gua.
Tentang caption, cuma interpretasi. Kecuali kalo lagi motret documentary, gua sebisa mungkin berdasarkan fakta.



Beberapa kali kamu pernah menampilkan foto yang wanita di dalam lift. Sebenernya ada apa dengan girl in the elevatornya Robert frank? 
Foto simple dengan elemen-elemen cukup gelap. Foto itu bukan cuma foto gadis penunggu lift melihat dengan tatapan kosong sementara “penumpang”nya pergi. Ada potret sosial amerika tahun 1950an yang tersirat. It is a dark photograph.
Sejauh ini foto yang paling lu anggap berhasil foto lu yang mana? Ceritakan!
 
Ada beberapa. Salah satunya yang ini (foto Fauzi Bowo). Ada orang yang share link di facebook sehari setelah banjir  di Jakarta. Kurang dari 9 jam, viewernya melonjak dari 70an menjadi hampir 1000. Foto itu akhirnya di-hide setelah ada banyak komentar “mengancam” (sekarang didelete) meskipun tidak sedikit juga yang mendukung.
Dan yang ini (foto Trully Indonesia). Gw suka karena semua elemennya menyatu, menggabung dan menceritakan manis pahit Indonesia. Bunga, pisang, tukang becak main ukulele, pegawai yang main catur di jam kerja, topi merah putih, lukisan pemandangan alam, tata kota yang acakadut.


Oiya, kamu sempet bikin foto series “Political Comitment”. Itu sangat sungguh awesome. Pendekatan dan teknikmu dalam mengkritik dikemas dengan cara yang menarik, jenaka dan tetap bisa mengantarkan viewer ke keadaan politik Indonesia. Termasuk keadaan kekesalanmu terhadap pemerintahan. Foto-foto itu tuh yang biasa disebut jurnalisme kontemporer yah? Share sedikit dong tentang series itu.
 
Entah lah. Dibilang jurnalisme mungkin Cuma sedikit aja jurnalismenya. Sangat sedikit. Lebih mirip art yang dibumbui isu politik. Seri itu dibuat setahun setelah pemilu 2009. Baru satu tahun berjalan, pemerintah dan DPR/DPRD sudah sering mengecewakan rakyat : bertingkah bodoh, berbohong. Intinya tindakan mereka tidak sesuai dengan janji-janji saat pemilu.
Gua cari apa yang bisa capture janji-janji terlupakan itu. Lalu muncul lah poster-poster dari zaman kampanye yang belum dicabut, yang setahun kemudian jadi lapuk.
Waktu zaman kampanye, poster-poster itu bagus, mengkilap, meyakinkan. Persis seperti janji kampanye. Lalu lihatlah setahun kemudian. Pudarnya poster-poster itu sama dengan pudarnya janji-janji.
Sebenernya isu-isu seperti apa sih yang membuat mu tertarik untuk dibuatkan series/documentary photo?
I’m new to this area, actually. Awal mulanya mungkin tentang hal-hal yang unfortunate aja. Ke depannya sangat berharap bisa motret yang lebih kontemporer. Misalnya kayak seriesnya Alessandra Sanguinetti atau Martin Parr.
Bisa sedikit share nggak langkah-langkah dalam membuat sebuah photo story?
Pertama, ya cari issue yang bagus. Kalo buat personal, issue apapun asik lah. Toh cuma buat sendiri.  Kalo yang serius, mesti bisa jawab pertanyaan “why should the viewer care?”. Lalu cari data. Sisanya adalah PDKT dengan subjek. Ini yang susah, lebih susah dari proses motretnya.
Motretnya juga susah. Mesti ada alur, simbolisme, good packaging dll karena pada dasarnya ketika membuat series/documentary, kamu bercerita via gambar. You are a story teller.
Oke, ada pesan terakhir untuk kawan-kawan pembaca?
In the end we’re all story teller. 
 

8 komentar:

  1. Tokok dan tulisan yang keren...

    BalasHapus
  2. good! foto yg fauzi keren bro. :D nice shot

    BalasHapus
  3. "In the end we are story teller"

    Suka banget sama konklusi itu. Kakak gw keren banget deh XD

    BalasHapus
  4. Sangat inspiratif dan pembelajar yang gak menyia2kan wawasan dan ilmu yang didapat.
    Conggrats Mas Rian Afriadi, karya yang menggugah dunia Fotografi Indonesia.

    BalasHapus