Kamis, 08 September 2011

Keindahan dalam Penderitaan: “Beauty is Pain(t)”

Pernahkah kalian berpikir mengapa wanita yang berbadan tinggi, ramping bermuka runcing, berrambut lurus, dan berbibir merah tipis itu disebut sebagai cantik? Ah, kalian pasti sudah sama-sama tahu bahwa wacana tubuh cantik adalah sesuatu yang dibentuk. Di era sekarang begitulah kira-kira syarat untuk ‘menjadi’ cantik. 

oke, pertanyaan berikutnya. Siapa yang nggak mau dibilang cantik? siapa yang tidak ingin dipuji? saya yakin kita semua pasti akan senang bukan kepalang kalau ada yang berkata atau  setidaknya menganggap kita cantik. Itu lah sebabnya cantik menjadi pencapaian bagi setiap manusia. dan sialnya, hal ini ternyata nggak lepas dari kendali industri. Industri (baca: kapitalisme) menawarkan konsep-konsep itu, bahwa kita, terutama kaum wanita harus menjadi cantik. Cantik adalah cara ampuh untuk menjadi pusat perhatian. 

Ya, kapitalisme menang, setiap orang bersusah-payah untuk berebut anggapan cantik itu. Serangan tahap kedua pun dimulai, berbagai produk-produk untuk menjadi cantik dipasarkan. Serangkaian teknik untuk menjadi cantik pun diajarkan. Berdiet, bersolek, memakai produk ini, produk itu. Sejumlah manekin bernama selebritis dijadikan etalase. “ini dia yang cantik, segeralah tiru mereka” seketika itulah semua bergegas. Yang gemuk berdiet, yang rambunya keriting segera di rebounding, yang alisnya tebal segera pangkas. 

Hal yang paling tepat untuk merayakan kemenangan kapitalisme ini adalah dengan menjadi anak nakal di dalamnya. Bermain-main dengan citra serta imaji untuk merespon hal-hal yang tidak kita suka. Seperti yang dilakukan oleh kawan-kawan dari Kelas Pagi Anton Ismael ini. Melalui pameran bertajuk Beauty is Pain(t) yang digelar pada 6-13 Agustus lalu.  27 fotografer muda peserta pameran mementahkan konsep-konsep cantik tersebut. Buat apa kita bersusah-susah menjadi cantik, pun ternyata menjadi cantik butuh pengorbanan yang kadang menyiksa. Kecantikan adalah Bencana! 
 foto oleh: ARIFRHMNSALEH

Mulia Rahman menampilkan foto seorang wanita yang tengah menyetrika rambutnya, melalui judul  Mutia seolah menyuarakan motivasi si wanita “Biar Tidak kusut Lagi”. Satu aspek menjadi cantik kita temukan di sini, yaitu memiliki rambut lurus. Alih-alih bahagia karena akan menjadi cantik si model malah terlihat murung. Lalu, permasahalan bibir diangkat oleh Ria Diah Pitaloka. terlihat sebatang lipstik yang berujung pisau siap menerjang sebuah bibir sensual. karyanya itu seolah berkata bahwa dibalik balutan merah gincu itu tersimpan racun-racun halus yang justru akan merobek-robek bibir. hehe.   
 foto oleh: ARIFRHMNSALEH

Karya “Sometime in 2011” milik Bey Shouqi tampil sedikit sureal, ada satu setel pakaian yang ditanggalkan. Kemeja, celana panjang, sepatu tercecer di jalanan, tak jauh dari situ tampak sesosok tubuh yang seperti sedang merangkat keluar. Seolah baru mendapat pencerahan, si tubuh itu mencoba lepas dari  atribut-atributnya. 
 
foto oleh: ARIFRHMNSALEH

Lalu  Ardianto, merespon permasalahan kerampingan tubuh. Ditampilkan di situ bagian perut wanita yang digambarkan pola potong, seperti sepotong baju yang akan dikecilkan. Sebuah kontradiksi, bukannya baju yang menyesuaikan dengan ukuran tubuh melainkan tubuhlah yang dipaksa untuk menyesuaikan ukuran baju.

Kalau diamati, ada yang berbeda pula dengan sajian foto-foto di pameran ini. Konsep cantik dan bagus tidak hanya dilawan melalui konsep foto, melainkan pada teknik pencetakkan. Para artisan menggunakan teknik cetak SaltPrint, Selain melawan digitalisasi yang menghasilkan budaya instan dalam fotografi para peserta sekaligus mengingatkan kembali pada teknik cetak yang digunakan pada masa awal penemuan fotografi Teknik pencetakkan ini bukan perihal mudah, untuk bisa menghasilkan foto sesempurna yang dipamerkan ini saja para peserta pameran menghabiskan waktu kurang lebih dua bulan untuk berlatih. 

Penggunaan teknik cetak saltprint ini udah pasti bikin para pengunjung pameran jadi penasaran pengen coba juga. Untungnya, pihak penyelenggara sudah mempersiapkannya. Di penghujung acara pameran diadakan workshop singkat yang dibawakan oleh Sigit bla.. satu dari peserta pameran yang dianggap paling gape dalam urusan cetak mencetak ini. 

well, setelah pulang dari pameran ini sedikit-banyak kita bakal tersadarkan bahwa kita telah terjebak dalam konsep cantik yang menyiksa. Syukur-syukur kalau ada yang sampai dengan yakin berkata “Gua nggak perlu jadi cantik, untuk sekedar bisa mendapat perhatian!” haha.

1 komentar:

  1. Nilai Cantik telah terbunuh oleh keangkeran dan keangkuhan produk-produk kosmitik kecantikan, revitalisasi konsep dan produk kecantikan perlu dilakukan untuk menajaga arti kecantikan itu sendiri

    BalasHapus