Beberapa tahun ke belakang ini, kita memang ditawari sebuah konsep baru dalam bersosialisasi. Tidak membutuhkan ruang yang berwujud, cukup seperangkat komputer atau handphone dan koneksi internet kita sudah bisa mengakses dunia, meringkas jarak. Ungkapan ‘jauh di mata dekat di hati’ pun bergeser sedikit menjadi “jauh di mata dekat di facebook, dekat di BBM, dekat di Twitter”.
Inovasi dalam suatu masyarakat tidak mungkin datang sendirian. Kekagetan budaya pasti ikut serta diawal kedatanganya menghasilkan sebuah eupohoria. Itulah yang sedang terjadi sekarang ini, kita jadi terlalu banyak tau, kita terlalu ingin tahu, kita terlalu ingin memberi tahu. Teknologi komunikasi menjadi adiktif. Media jejaring sosial ini benar-benar sudah menjaring kita. Jadi susah lepas. Sedikit-sedikit buka Facebook, buka Twitter, buka celana, ehh. Kita menyelami dua dunia sekaligus. Nyata dan maya. Multitasking seolah menjadi suatu kemampuan wajib. Bahkan sampai ada buku yang berjudul “99 Tips Menghindari Skip Akibat Bersosial Media”*.
Sebagai bagian dari umat yang berada di labirin media sosial ini, sekumpulan anak muda dari kelas pagi Anton Ismael angkatan V kelompok 2 menggelar sebuah eksibisi foto bertajuk JejaringSosial. Pameran yang dikurasi oleh Anton Ismael sendiri ini menampilkan karya fotografi yang merespon gejala media sosial.
Galeri Gudang dipilih menjadi tempat pameran. Sebuah galeri mini yang mengambil tempat di lantai dua sebuah cafe. (maaf saya lupa nama cafenya). Kita perlu melewati ruang makan cafe terlebih dahulu, lalu masuk ke sebuah koridor. Di situ lah foto-foto mulai di pajang. Langkah pertama kita di lorong tersebut disambut oleh petak-petak logo beberapa media sosial yang dibubuhi kalimat “Don’t follow me”. Sisanya, foto-foto dipajang di lantai dua.
Hal yang paling sering ditampilkan ialah tentang bagaimana media sosial menjadi candu. Ada foto yang menampilkan seseorang sedang membaca Koran yang tampilannya serupa dengan facebook. Ada yang menampilkan kolase foto berisi kehidupan anak muda sukses dan anak muda yang selalu bermalas-malasan menghabiskan waktu dengan media sosial. Bahkan ada foto yang menampilkan situasi di dalam ruang praktek dokter, dimana si dokter tetap memperhatikan news feed Facebook sembari merawat si pasien. Haha. Foto yang niat. O iya, ada juga foto yang mengilustrasikan fenomana berdoa di facebook atau twitter. Haha.
Secara keseluruhan, saya sedikit terganggu dengan olah digital yang sangat kentara di beberapa foto. Walau pun hanya sedikit namun malah mengurangi nilai fotografis foto tersebut. Penambahan teks dan awan bicara misalnya, membuat foto tersebut lebih terlihat seperti sebuah poster atau iklan. Pada seri foto “Autis Mau Eksis” karya M. Husni misalnya, menampilkan awan bicara dalam ukuran cukup besar yang berisi tulisan “at PIM, nemenin mamah belanja!” untuk menjelaskan isi pesan yang sedang ditulis gadis melalui Blackberry. Hal ini membuat saya jadi berpikir, betapa sulitnya memang fotografi bisa bercerita tanpa harus ada teks yang mendampinginya.
Melihat seringnya penggunaan logo dari berbagai media sosial saya jadi benar-benar mengira ini seperti iklan provider telepon. Seperti tidak ada cara lain untuk menandakannya. Terlalu eksplisit. Walau pun penggunaannya berbeda-beda, tapi ekplorasi untuk mencari penanda-penanda lainnya kurang terasa. Hanya beberapa foto yang berani tampil tanpa terlihat sedikit pun tampilan media sosialnya itu sendiri. Padahal, kalau dipikir-pikir, melalui judul pamerannya saja, pemirsa sudah tau kalau foto-fotonya pasti menyoal fenomena media sosial.
Daripada menyebut pameran ini sebagai bentuk kritik terhadap fenomena media sosial sepertinya lebih tepat disebut sebagai visualisasinya saja. Sebuah visualisasi atau ilustrasi atas gejala yang terjadi pada kehidupan mereka, atau bahkan pada diri mereka sendiri. Sepertinya tidak mungkin kan, kalau kita mengkritik sesuatu yang padahal kita terlibat di dalam sesuatu tersebut.
Well, mengacungi jempol untuk pameran ini sepertinya tidak ada salahnya. Saya yakin persiapan mereka matang. Pastinya pameran ini bakal lebih memotivasi untuk berkarya yang lebih eksploratif lagi.
Salut untuk Anton Ismael yang telah memberikan kita, para anak muda, wadah untuk belajar dan berekspresi dalam fotografi. (Rizki Ramadan)
*dijual di toko buku yang terletak di alam imajinasi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar