Sabtu, 22 Januari 2011

TIDAK BERMAKSUD MEMBATASI DIRI, gelar karya Bidik Stikom, 26-29 Desember 2010

Catatan dari pameran karya bersama fotografi BIDIK STIKOM Bandung, 26-29 Desember 2010
oleh: Deni Sugandi 

Dengan segala keterbatasan, biasanya menghadiahkan keinginan yang kuat, malah bisa lebih kreatif, dari segala kebuntuan, biasanya ada jalan yang tidak pernah direncanakan sebelumnya. Begitupula dengan kepanitiaan pameran karya semua angkatan tahunan, salah satu unit kegiatan mahasiswa/UKM Bidik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi, STIKOM Bandung, berangkat dari keterbatasan penyelenggaraan, berhasil menggelar pameran antar angkatan tahunan. Dengan tema “Realita pendidikan; keterbatasan bukan batasan” tanggal 26 hingga 29 Desember 2010.
Fotografi, bertugas merekam realitas, meskipun kini teknologi memperkeruh arti realitas sebenarnya, sangat rentang dengan gambar asli atau palsu. Namun dalam rangkaian pameran tahun ini, Bidik Stikom tidak bermaksud mengaburkan makna dari “kenyataan pendidikan nasional kini” semacam ironi, masalah yang tidak pernah berkesudahan. Bahkan setahun yang lalu, tokoh politisi partai PKS yang kini menduduki jabatan orang nomor satu di Jawa Barat pun, berjanji menuntaskan persoalan pendidikan, dengan cara membuka pendidikan seluas-luasnya dan gratis, hingga kini pun realita belum terlaksana penuh. Mungkin dari titik inilah tema setral kenyataan tentang pendidikan yang hendak diungkap oleh teman-teman ini, bahwa pendidikan milik siapapun.
Untuk menterjemahkan tema di atas, garapan ini di inisiasi empat bulan yang lalu. Terdiri dari 40 lebih fotografer, bersepakat dengan tema tertentu. Teknis reportase dan pengambilan gambar, seluruhnya diserahkan pada masing-masing individu, mulai tersebar di seputar Jawa Barat; Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi bahkan dari luar Jawa pun dihadirkan dalam pameran ini. Teknis pengumpulan karya dilaksanakan dalam tiga tahap, dalam kurun waktu empat bulan menjelang pameran. Dari kacamata kurasi, yang dipercayakan kepada Agus Bebeng (pewarta foto ANTARA), dari 40 fotografer, akhirnya memilih dan memilah menjadi 50 karya layak pamer dari 23 fotografer yang berpameran. Untuk menyamakan irama tema, sesuai dengan tema keterbatasan tentang pendidikan, maka ruang apresiasi pun digeser di sekolah berkebutuhan khusus, Sekolah Luar Biasa/SLB Bandung, jalan Cicendo nomor 2. Sungguh luar biasa, apresiasi dari penyelenggara pendidikan SLB Bandung ini, yang telah menyediakan ruang pamer di aula semi terbuka/koridor, untuk pertama kalinya dalam catatan sejarah sekolah ini, pameran foto dilangsungkan.
Ruang semi terbuka, lebih tepat koridor menuju aula menjadi ajang ruang pameran. Atap genting yang menaungi, tetapi tidak ada dinding penutup. Untuk memajang karya, kondisi seperti ini memang sangat tidak menguntungkan, selain cahaya dari luar yang terlalu intens, maka karya yang digantung otomatis menjadi gelap, sumber cahaya siang dari arah luar ke dalam, dengan pemasangan karya melawan arah sumber penerangan alami; matahari. Kondisi seperti ini memang sangat tidak kokndusif, karena rupa gambar karya fotografi tidak dapat dinikmati lebih lama, akibatnya mata susah payah menerka gambar yang dimaksud, akibat kontras cahaya berlawanan dengan bingkai karya foto. Memang ada beberapa karya, yang digantung menggunakan bantuan bambu sebagai penahan, dibagian tengah ruangan, namun sekali lagi, rupanya karya kurang bisa dinikmati, karena bingkai tersebut dilapisi kaca glossy, menyebabkan memantul. Mungkin jenis pemilihan kaca yang terbuat dari jenis doff akan mengurangi pantulan cahaya. Kembali lagi kepada perkaraya keterbatasan, memang bingkai tersebut adalah pinjaman, jadi karya pun “mengalah”.
Sangat disayangkan, karya pun sulit dinikmati. Seharusnya selalu saja ada pilihan dan cara presentasi karya, diruangan yang tidak menguntungkan ini. Sejatinya, urusan tata ruang dan letak, menjadi rangkaian tanggung jawab si kurator. Karena ia mengerti benar, tema, pesan dan teknis pemasangan karya, sedangkan para fotografer diposisikan sebagai mengisi konten materi, kurator lah yang seharusnya mengerti benar cara menyajikan kepada publik dengan baik dan menarik untuk dilihat.
Melihat isi konten, dengan dibungkus tema pendidikan, menurut ketua penyelenggara pameran, Redian Tandiana, yang diinginkan bukan saja perkara pendidikan formal, namun pula mengisahkan pendidikan dalam aplikasi kehidupan. Tema luas seperti ini memang belumlah mengkerucut, masih dianggap luas, karena urusan pendidikan adalah masalah bersama. Pemilihan tema seperti ini sangat layak diberikan apresiasi lebih, dibandingkan penyelenggaraan tahun lalu, yang diselenggarakan di salah satu padepokan seni di Padasuka Bandung, dengan mengambil tema yang biasa-biasa saja. Namun kini, Bidik berupaya mencari jati dirinya melalui opini yang menjadi tema sentral karya pameran bersama ini.
Melihat 50 karya yang disuguhkan dalam pameran ini, terkesan paradoks. Meskipun tema yang disusung adalah menyoroti pendidikan dengan arti harfiah seluas-luasnya, pendidikan seumur hidup dini usia hingga usia hingga senja, namu beberapa karya yang muncul, lebih banyak didominasi anak-anak untuk mengais empati. Entah kenapa pihak kurator begitu sering menampilkan anak sebagai subyek dalam bebeberapa karya, atau memang tidak ada lagi pilihan konten yang disetor 40 lebih fotografer? Ataukah anak-anak ini memang sangat menarik perhatian pemotret pada saat pengambilan gambar?
Lihatlah karya Risanti, yang memotret seorang anak, Ega Hariyani usia tujuh tahun, siswa kelas 2 SD Neglasari I Bandung, tampak tidak begitu terganggu, atau sudah menjadi bagian sehari-hari, dengan bau sampah dan pemandangan yang tidak sedap ditempat pemilhan sampah di Sadang Serang Bandung. Judul “Tetap Tekun” menjelaskan apapun yang terjadi, belajar adalah kewajiban setiap orang. Pada judul “Menyongsing Masa Depan” karya Yugi Prasetyo Bidik ankatan 2003, juga seorang jurnalis di harian umum Seputar Indonesia, masih menyempatkan merekam kondisi pendidikan di dataran tinggi pegunungan Papua, Distrik Abenaho, Kabupaten Yalimo, Propinsi Papua.
Pemilihan judul di atas, Yugi ingin memperlihatkan antusias saudara kita Indonesia timur, yang mempunyai kesempatan yang sama, dengan warga lain di belahan nusantara yang lain. Meskipun mempunyai keterbatasan akses pendidikan, namun tetap saja kesempatan untuk menggali ilmu dasar masih ada.
“Sebuah ruang yang di jadikan tempat bermain para pelajar ini, dulu pernah menjadi tempat belajar mengajar bagi siswa-siswi Sekolah Dasar Budiwangi Kecamatan Cibalong Tasikmalaya, dan didalam puing - puing bangunan yang hancur akibat amuk alam pada pertengahan 2009 lalu, mereka masih mampu untuk tersenyum dan bermain bersama. Seolah mereka merindukan berada diruangan itu lagi, dimana seperti masa - masa sebelumnya.(09/12)” berikut petikan dari deskripsi foto, karya Rico Oktamawardi, yang memotret sisi ironis dinding sekolah yang bolong. Fungsi fisik penyelenggaraan pendidikan penting, namun jauh lebih penting adalah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk bisa mengenyam pendidikan.
Rekaman pas, adalah visualisasi karya Rangga Permana. Memperlihatkan seorang siswi yang mempunyai keterbatasan fisik, namun masih mempunyai upaya untuk disejajarkan dengan anak-anak yang lain. Jadi jelas, bahwa melalui rekaman gambar di atas, bahwa kesempatan kini milik siapapun.
Apapun yang disuguhkan, tentu saja akan diapresiasi. Namun saya melihat bahwa Bidik Stikom telah berhasil keluar dari sangkar “kampus” yang selama ini hanya bisa diakses oleh golongannya saja. Tidak seperti klub fotografi yang lahir di kampus, seperti tahun lalu, rupanya klub ini semakin berani untuk berupaya memberikan opini dalam media visual fotografi, sebagai kontrol sosial kepada penyelenggara pendidikan, pemerintah dan masyarakat selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Mari kita saksikan dan apresiasi “ulah” apa lagi yang akan ditawarkan Bidik Stikom ini. Yang jelas mereka tidak bisa berhenti dititik ini, namun sebaliknya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar